A. Konsep
Dasar Perspektif Integratif
Awalnya, yang mendasari pendekatan
modern untuk psikoterapi, yaitu para praktisi dan mahasiswa psikoterapi enggan
untuk mempelajari sistem psikoterapi lain, selain yang telah mereka pelajari.
Setiap sekolah psikoterapi dikembangkan dalam keadaan terisolasi dari
sekolah-sekolah lainnya. Keadaan pemisahan ini, dalam bidang psikoterapi
memberikan efek yang dramatis dan penting. Hal ini mengakibatkan permusuhan
yang tidak diinginkan di antara penganut
berbagai aliran psikoterapi, dan upaya-upaya untuk mengabaikan ide-ide atau
metode-metode pendekatan yang saling bersaing tanpa studi sistematis atau
pertimbangan intelektual. Terapi self-imposed
ini “apartheid” juga telah memaksakan psikoterapis dan pasien dari manfaat
inovasi klinis dan teoritis yang telah diperkenalkan oleh rekan-rekan yang
loyal terhadap pendekatan psikoterapi lainnya. Michael Mahoney berpendapat pada
tahun 1985 bahwa perpecahan ini bersifat politis dan tidak mencerminkan
realitas klinis yang menunjukkan bahwa tidak ada sekolah terapi yang dapat
mengklaim lebih unggul daripada sekolah terapi lainnya.
Isolasionisme keras di bidang
psikoterapi ini berlawanan dengan fakta bahwa psikoterapi selalu tertarik dan
telah lama mencoba untuk menggunakan perkembangan-perkembangan baru dalam
pengetahuan alam dan sosial, filsafat, teologi, seni, dan sastra. Sekelompok
kecil sarjana dan klinisi telah mampu melintasi batas sektarian dan membantah
pemisahan sekolah psikoterapi. Integrasionis/pemersatu ini ditujukan untuk
membangun dialog yang berguna antar anggota-anggota dari berbagai sektarian
sekolah psikoterapi. Tujuan mereka telah dikembangkan dari bentuk-bentuk yang
paling efektif dari psikoterapi. Terapi integrasi ini melibatkan konsep dan
metode “best and brightest” dalam teori-teori baru dan sistem pengobatan
praktis.
Bentuk-bentuk psikoterapi integratif
sangat bervariasi tergantung pada versi tertentu yang sedang dipertimbangkan,
namun semua berbagi satu tujuan dan maksud bersama. Psikoterapi integratif
adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis dari dua
atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti terapi psikoanalisis dan
behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa terapi sintesis ini
akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan masalah klinis yang lebih luas
daripada psikoterapi model individual yang membentuk dasar dari model
integrasi.
Pada tahun 1992 John Norcross dan
Marvin Goldfried menerbitkan sebuah buku pegangan yang menyajikan variasi
perkembangan yang lengkap dari sistem psikoterapi integratif. Upaya ini diikuti
pada tahun 1993 oleh George Stricker dan Jerold Gold dimana lebih banyak model
integratif yang disajikan dan kegunaan klinis dari psikoterapi integratif
dieksplorasi berkaitan dengan variasi masalah dan populasi klinis. Bagian ini
mengilustrasikan model integratif yang tidak lagi berfokus pada sintesis
psikoanalitik dan behavioral. Upaya integratif baru telah menggabungkan
humanistik, kognitif, eksperiensial, dan model sistem keluarga satu sama lain
dengan komponen psikoanalitik dan perilaku dengan komunikasi yang lebih mutakhir
dan canggih. Proses psikoterapi eksperiensial merupakan sebuah inovasi yang
diperkenalkan oleh Leslie Greenberg, Laura Rice, dan Robert Elliot pada tahun
1993, acceptance and commitment therapy
(ACT) yang dijelaskan oleh Steven Hayes, Kirk Stroshal, dan Kelly Wilson pada
tahun 1999, adalah contoh penting pendekatan integratif yang sangat bergantung
pada pendekatan integrasi humanistik dan eksperiensial dengan terapi perilaku
kognitif.
B. Unsur-unsur Perspektif Integratif
Tujuan
Terapi
Tujuan konseling dalam perspektif
integratif yaitu membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level
tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang
memuaskan.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini
maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya,
mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di
atas masalah tingkah laku. Terapi ini berfokus secara langsung pada tingkah
laku, tujuan, masalah dan sebagainya.
Peran Konselor
Peran konselor sebenarnya tidak
terdefinisi secara khusus. Hanya saja dikemukakan peran konselor sangat
ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses konseling itu. Jika dalam
proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor adalah
sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang digunakan adalah berpusat
pada konseli maka perannya sebagai partner konseli dalam membuka diri terhadap
segenap pengalamannya.
Beberapa ahli memberi penekanan
bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang
kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh
pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli.
a. konselor,
b. psikiater,
c. guru,
d. konsultan,
e. fasilitator,
f. mentor,
g. advisor, atau
h. pelatih.
C. Teknik-teknik
Terapi
Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif
integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu:
1. Teknik
dengan pendekatan eklektik.
Pendekatan yang menggunakan teknik dengan pendekatan
eklektik (technical eclecticism) berusaha
untuk mencocokan antara intervensi spesifik bagi setiap klien dan dalam hal
menampilkan permasalahan. Para terapis tersebut tidak berafiliasi dengan model
teoritis tertentu, tetapi mereka bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat
efektif dalam menangani permasalahan tertentu. Misalnya, terapis yang tidak terlalu
sering menggunakan teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi
sistemik dalam merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang
bersifat eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya
dependen klien tersebut.
2. Integrasi
teoritis.
Integrasi teoritis (theoretical
integration) melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan
model yang berbeda-beda dan memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan
klinis seseorang. Misalnya, klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar
teoritis, seperti sistem keluarga dan perilaku kognitif yang kemudian dari
kedua dasar teoritis tersebut klinisi mengembangkan model intervensi. Dengan
cara tertentu, klinisi mengembangkan modelnya sendiri berdasarkan sintesis
konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang telah dikembangkan
sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini, terapis dengan
konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif
memberikan kontribusi terhadap stres pada klien. Intervensi yang dilakukan
berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara bersamaan.
3. Pendekatan faktor umum.
Pada saat menggunakan pendekatan faktor umum (common factor approach) pada integrasi,
klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsur dari
berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama beberapa waktu memperlihatkan sebagai kontributor yang
sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari psikoterapi. Dukungan
yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir terhadap pentingnya
membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan efisiensi treatmen.
Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai hasil penelitian
psikoterapi, Wampold(dalam Halgin & Whitbourne, 2010) menyimpulkan bahwa
faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik adalah faktor yang
dapat membuat psikoterapi bekerja. Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan
faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponenkunci dari psikoterapi.
“Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa
menghiraukan sifat dasar terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari
tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integrat
Daftar Pustaka
Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy (6th. ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company
Halgin, Richard P.,
& Susan Krauss Whitbourne. 2010. Psikologi
Abnormal Edisi 6 Buku 1.Jakarta :
Salemba Humanika